Minggu, 14 Agustus 2011

Kajian Psikologi Islam



Psikologi dalam KBBI (1997: 792) merupakan ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku; ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Ditinjau dari segi ilmu bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu atau pengetahuan, karena itu kata psikologi sering diartikan ilmu jiwa (Walgito, 1985:  7). Menurut Sukanto (dalam Anshori dan Ancok, 2005: 149) istilah nafs (jiwa) bisa berarti aku, pribadi, diri, makna derivatif (nafsu), dan sesama jenis. Perilaku seseorang (tokoh) biasanya dipengaruhi oleh hubungannya dengan tokoh lain dan masalah-maslah serta konflik yang dialami tokoh tersebut.
Islam menurut Mujib (2007: 1) merupakan agama samawi yang diturunkan oleh Allah swt kepada hamba-hamba-Nya melalui para rasul. Sebagai agama, Islam memuat seperangkat nilai yang menjadi acuan pemeluknya dalam berperilaku. Nilai yang dimaksud semuanya ada di dalam Al Qur-an dan al Sunnah. Psikologi Islam menurut Nashori dan Ancok (2005: 139) adalah ilmu tentang manusia yang filsafat , konsep, metodologi, dan pendekatannya didasarkan pada sumber-sumber formal Islam.
Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan, keadaan tubuh manusia merupakan salah satu cerminan jiwa. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Psikologi Islam tidak melihat manusia hanya dari perilaku yang diperlihatkan badannya, bukan pula berdasar spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Isalam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan kata Tuhan tentang manusia. Dalam diri manusia terdapat kompleksitas, hanya Sang Pencipta yang mampu memahami dan menguraikannya (Nashori dan Ancok, 2005: 149). Oleh karena itu, dalam menguraikan manusia psikologi Islam tidak hanya berpegang pada perilaku nyata manusia, tetapi juga dalil-dalil yang diambil dari ungkapan Tuhan.
Psikologi Islam sebagai bagian dari diskursus yang sedang berkembang, memunculkan berbagai interpretasi di kalangan peminat dan pemerhatinya. Terdapat enam pemahaman mengenai psikologi Islam yaitu, (1) psikologi Islam disamakan dengan psikologi agama, (2) psikologi dipandang sebagai bidang studi atau mata kuliah, (3) psikologi dipandang sebagai cara pandang, pola berpikir, atau sistem pendekatan dalam mengkaji psikologi, dan (4) psikologi Islam dipandang sebagai lembaga. Pengertian psikologi Islam yang sesuai dengan penelitian ini adalah pengertian yang ketiga yaitu psikologi Islam dipandang sebagai cara pandang, pola pikir, atau sistem pendekatan dalam mengkaji psikologi. Psikologi Islam merupakan satu keutuhan cara berpikir dalam memahami universalitas ajaran Islam ditinjau dari sudut pandang psikologis. Semua nyang termuat dalam Al Qur-an dan al Sunnah menjadi aksioma-psikologis yang mau tidak mau harus diterima, sekalipun tidak atau belum ditemukan secara empiris (Mujib, 2007: 6-10). Keberadaan al-ruh, malaikat, jin, setan, kehidupan setelah mati (eskatologi) serta fenomena di alam akhirat merupakan aspek-aspek psikologis yang harus diterima.
2.    Kepribadian Psikologi Islam
Disiplin psikologi terbagi atas dua macam, yaitu psikologi umum dan psikologi khusus. Psikologi umum membicarakan kognisi, emosi, dan konasi. Psikologi khusus dibagi menjadi dua  bagian, yaitu psikologi khusus murni dan psikologi khusus terpakai. Kedudukan psikologi kepribadian di sini adalah sebagai psikologi khusus terpakai (Mujib, 2007: 39).
Psikologi kepribadian Islam memiliki arti bagaimana Islam mendefinisikan kepribadian dari sudut pandang psikologis. Freme kajiannya tetap pada studi Islam yang menelaah terhadap fenomena perilaku manusia dari sudut pandang psikologis. Dari uraian tersebut dapat ditarok kesimpulan bahwa psikologi kepribadian Islam adalah studi Islam yang berhubungan dengan tingkah laku manusia berdasarkan pendekatan psikologis dalam relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada sang Khalik-nya agar dapat meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat (Mujib, 2007: 33-34).  
Manusia dalam konsepsi kepribadian Islam merupakan makhluk mulia yang memiliki sruktur kompleks , meliputi struktur jasmani, ruhani, dan nafsani. Struktur ruhani lebih dahulu adanya daripada struktur jasmani. Kedua struktur itu sama-sama merupakan substansi yang menyatu dalam satu struktur yang disebut nafsani. Oleh sebab itu, pemahaman kepribadian manusia tidak hanya bertumpu pada struktur jasmani melainkan harus meliputi struktur ruhani (Mujib, 2007: 116).
Unsur nafsani sebagai bentuk pembentuk kepribadian memiliki tiga komponen pokok, yaitu kalbu, akal, dan hawa nafsu. Ketiga komponen tersebut memiliki natur, fungsi, daya, cara kerja, dan mekanisme tersendiri. Meskipun demikian, ketiganya saling berinteraksi satu sama lain dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari interaksi diantara ketiga komponen tersebut. Masing-masing komponen memiliki peran dalam pembentukan kepribadian walaupun salah satu diantaranya ada yang lebih dominan. Kepribadian muthma’inah (nafs al-amarah) adalah kepribadian yang didominasi daya kalbu yang dibantu oleh daya akal dan daya nafsu. Kepribadian lawwamah (nafs al-lawwamah) adalah kepribadian yang didominasi daya akal yang dibantu oleh daya kalbu dan daya nafsu. Bantuan daya kalbu sama kuatnya dengan bantuan daya nafsu. Kepribadian ammarah (nafs al-ammarah) adalah kepribadian yang didominasi oleh daya hawa nafsu yang dibantu oleh daya akal dan daya kalbu (Mujib, 2007: 143-151).
Tipe manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tipe yang berkepribadian ammmarah, kepribadian lawwamah, dan kepribadian muthmainnah (Mujib, 2007: 175-179).
1.      Kepribadian Ammarah
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung melakukan perbuatan-perbuatan rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga merupakan tempat dan sumber kejelekan dan perbuatan tercela. Kepribadian tersebut mengikuti tabiat jasad adan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle) syahwati. Bentuk kepibadian ammarah antara lain syirik, kufur, riya’, fitnah, khianat, sombong, mengikuti hawa nafsu syahwat, sombong dan ujub (angkuh), membuat kerusakan, boros, memakan riba, mengumpat, pelit, durhaka atau membangkah, benci, pengecut atau takut, fitnah, memata-matai, angan-angan atau menghayal, hasut, khianat, senang dengan duka yang lain, ragu-ragu, buruk sangka, rakus, aniaya atau zalim, marah, menceritakan kejelekan orang lain, menipu, jahat atau fujur, dusta, sumpah palsu, berbuat keji, menuduh zina, maker, bunuh diri, adu domba. Bentuk-bentuk kepribadian ini disebut penyimpangan kepribadian Islam atau kepribadian abnormal dalam Islam. Kepribadian menusia yang menyimpang atau yang sering disebut dengan gangguan kepribadian (Mujib, 2007: 361-386) adalah sebagai berikut:
a.       Kepribadian syirik (menyekutukan Allah) yaitu sikap dan perilaku menduakan terhadap masalah-maslah yang berkaitan dengan keyakinan atau keimanan kepada Allah swt
b.      Kepribadian kufur (ingkar) yaitu sikap dan perilaku yang tertutup dan mengingkari terhadap sesuatu yang sebenarnya
c.       Kepribadian nifaq (bermuka dua) yaitu sikap dan perilaku yang menampakkan suatu yang dipandang baik oleh orang lain, padahal di dalam hatinya tersembunyi kebusukan, keburukan, dan keborokan.
d.      Kepribadian fusuq (fasiq) yaitu sikap dan perilaku yang selalu melakukan kemaksiatan, sekalipun dalam dirinya beriman kepad Allah swt.
e.       Kepribadian riya’ (suka pamer) yaitu sikap dan perilaku yang menampakkan apa yang tidak sebenarnya, untuk tujuan pamrih, pamer, atau cari muka kepada orang lain.
f.       Kepribadian ghadhab (pemarah) yaitu sikap dan perilaku yang menolak dan menganggap musuh pada orng lain.
g.      Kepribadian ghaflah atau nisyan (pelupa atau lalai) yaitu sikap dan perilaku yang sengaja melupakan atau tidak memperlihatkan sesuatu yang seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari esensi kehidupan.
h.      Kepribadian was-was (kepribadian yang mengikuti bisikan setan) yaitu sikap dan perilaku ragu-ragu terhadap kebenaran, karena mengikuti bisikan halus setan.
i.        Kepribadian al ya’is wa qunuth (apatis dan pesimis) yaitu hilangnya gairah, semangat, energy, dan motivasi hidup setelah seseorang tidak berhasil menggapai sesuatu yang diinginkan, atau sebelum ia berbuat.
j.        Kepribadian thama’ (rakus) yaitu sikap dan perilaku yang selalu meras kurang terhadap apa yang dimiliki, meskipun apa yang dimiliki itu telah memenuhi kelayakan dan standar.
k.      Kepribadian ghurur (tertipu dan terperdaya) yaiut sikap dan perilaku yang percaya atau metakini sesuatu yang tidak hakiki dan tidak substantif.
l.        Kepribadian ‘ujub (membanggakan diri) dan takabbur (sombong) yaitu sikap dan perilaku congkak dan menganggap besar dirinya sendiri tanpa disertai kemampuan yang memadai, sehingga merasa dirinya paling besar, padahal keadaan sebenarnya kecil.
m.    Kepribadian hasad dan haqid (iri dan dengki) yaitu sikap dan perilaku yang tidak merasa nyaman terhadap nikmat, krunia, prestasi, dan kelebihan yang dimiliki orang lain.
n.      Kepribadian al-ghibah (menceritakan keburukan orang lain) dan al-naminah (mengadu domba) yaitu mencari-mencari dan menyebut-nyebut kesalahan orag lain, padahal ia tidak mampu mengadakan penyesuaian diri.
o.      Kepribadian hub al-dunya (cinta dunia), pelit (al bukhl), dan berlebih-lebih atau menghambur-hamburkan harta benda (al-israf ata al-tabdir). Cinta dunia yaitu menjadikan dunia dan sisnya sebagai tujuan akhir hidupnya dan bukan sebagai sarana hidup.
p.      Kepribadian al-tamanni (penghayal) yaitu sikap atau perilaku yang tenggelam dalam dunia khayal dan tidak realistik; dan
q.      Kepribadian al-jubn (picik atau penakut) yaitu sikap dan perilaku yang tidak berani menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
2.      Kepribadian Lawwamah
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang mencela perbuatan buruknya setelah memperoleh cahaya kalbu. Orang dengan kepribadian tersebut bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya dan kadang-kadang tumbuh perbuatan buruk yang disebabkan oleh watak gelapnya (zhulma-niyyah), tetapi kemudian diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia bertaubat dan memohon ampun (istighfar). Kepribadian ini merupakan kepribadian antara kepribadian muthmainah dan kepribadian ammarah yang berniali netral. Kepribadian ini jarang sekali ditemukan karena berada pada tengah-tengah antara dua kepribadian yang bertentangan, dan kepribadian ini merupakan penyeimbang antara dua kepribadian tersebut.
3.      Kepribadian Muthmainah
Kepribadian Muthmainah adalah kepribadian yang tenang setelah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran. Kepribadian Muthmainah terbagi atas tiga kategori sebagai berikut:
a.       Kepribadian mukmin, yang memiliki enam bentuk kepribadian, yaitu kepribadian Rabbani atau ilahi, kepribadian maliki, kepribadian qurani, kepribadian rasuli, kepribadian yawm akhiri, kepribadian taqdiri;
b.      Kepribadiam muslim, yang memiliki lima bentuk kepribadian yaitu, kepribadian syahadatain, kepribadian mushalli, kepribadian shaim, kepribadian muzakki, kepribadian haji; dan
c.       Kepribadian muhsin, yang memiliki multi bentuk kepribadian. Pengertian muhsin (Mujib, 2007: 305) adalah orang yang berbuat ikhsan. Kata ikhsan artinya baik atau bagus, seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan. Kepribadian muhsin adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu, baik berhubungan dengan diri sendiri, alam semesta, dan kepada Tuhan yang vdiniatkan hanya untuk mencari ridho-Nya.
Mujib (2007: 308-350) menguraikan dua puluh macam kepribadian muhsin, sebagai berikut:
a.       Karakter ta’ib (yang bertaubat) yaitu karakter yang menyesal karena melakukan dosa, melepaskan seluruh perilaku yang mengandung dosa seketika itu juga dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi, baik dosa kepada Allah maupun dosa-dosa sosial.
b.      Karakter zahid (yang zuhud) yaitu karakter yang berpaling, menganggap hina dan kecil serta tidak merasa butuh kepada sesuatu yang bersifat material.
c.       Karakter wari (yuang wara) yaitu karakter yang menjaga diri dari perbuatan yang tidak patut, yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.
d.      Karakter khai’f (yang khawf) yaitu karakter yang takut akan kebencian, kemurkaan, dan siksaan Allah swt akibat melanggar larangan-larangan-Nya dan takut akan kebesara-Nya.
e.       Karakter raji’ (yang raja’) yaitu karakter yang berharap kepada sesuatu kebajikan kepada Allah swt dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal.
f.       Karakter mukhlash (yang ikhlas) yaitu karakter yang murni dan taat seluruh perilakunya hanya ditujukan kepada Allah semata, dengan cara memebersihkan perbuatan baik lahir maupun batin, dan perhatian makhluk.
g.      Karakter mustaqim (yang istiqomah) yaitu karakter yamh melakukan suatu p0ekerjaan yang lurus secar kontinu dan abadi. Karakter mustaqim membutuhkan niat yang benar dengan jalan yang benar juga, dan tidak berlaku niat dan jalan yang salah. Bentuk karakter mustaqim antara lain disiplin, tepat waktu, memiliki komitmen yang kokoh, dan dedikasi yang tinggi.
h.      Karakter shabri (yang sabar) yaitu menahan diri atau lebih tepatnya mengendalikan diri.
i.        Karakter mutawakil (yang bertawakal) yaitu karakter yang menyerahkan diri dan apa yang dimiliki dengan sepenuh hati kepada kekuatan dan kehendak Allah swt sehingga dalam hatinya tiada beban psikologids yang dirasakan.
j.        Karakter qani (yang qanaah) yaitu dalam menerima apa adanya atau seadanya (nrimo ing pandum).
k.      Karakter radhi (yang ridha) yaitu rela terhadap apa yang dimiliki dan diberikan.
l.        Karakter syakir (yang bersyukur) yaitu menapakkan nikmat Allah swt yang diberikan kepadanya.
m.    Karakter malu (al haya) yaitu kepekaan diri yang mendorong untuk meninggalkan keburukan dan menunaikan kewajiban.
n.      Karakter shadiq (yang jujur) yaitu kesesuaian yang diucapkan dengan kejadian yang sesungguhnya, kesesuaian di hati dengan yang ditampakkan, dan perkataan yang benar ketika berhadapan dengan orang yang ditakuti atau diharapkan.
o.      Karakter mu’tsir (yang itsar) yaitu karakter yang mementingkan atau mendahulukan kepentingan orang lain.
p.      Karakter mutawadhi yaitu sikap kalbu yang tenang, berwibawa, rendah hati, lemah lembut, tanpa disertai rasa congkak, jahat, dan sombong.
q.      Karakter mu’ri (yang muru’ah) yaitu karakter keperwiraan yang menjunjung tinggi sifat-sifat kemanusiaan yang agung.
r.        Karakter muhibb (yang mahabbah) yaitu kelekatan jiwa individu pada individu lain yang ditopang oleh perasaan saling memperhatikan, memepercayai, dan mendekat, sehingga keduanya ingin tetap bersatu baik lahir maupun batin.
s.        Karakter mukhbit yaitu karakter yang memiliki kerendahan dan kelembutan hati, merasa tenang dan khusyuk di hadapan Allah, dan tidak menganiaya pada orang lain, dan
t.        Karakter muttaqi (yang taqwa) yaitu takut terhadap murka atau siksa Allah swt.
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian tokoh
Kepribadian manusia menurut William Stern (dalam Walgito, 1985: 44-47) mengemukakan bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh dua factor, yaitu factor dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen). Faktor dalam (endogen) adalah faktor yang dibawa sejak lahir, dan faktor luar (eksogen) terdiri dari lingkungan, pengalaman, dan pendidikan.
Islam mengakui adanya struktur ruh yang dapat bereksistensi dengan sendirinya, sekalipun tanpa jasad. Karena perkembangan psikis di dalam Al Qur-an tidak semata-mata diawali dengan sinergi antar ruh dan jasad, tetapi terdapat fase sebelum dan sesudahnya, sekalipun fase ini tidak dapat ditelaah secara empiris. Fase-fase tersebut menurut Mujib (2007: 396-408) adalah sebagai berikut:
a.       Fase pra-konsepsi, yaitu perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan ovum.
b.      Fase pra-natal, yaitu fase perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sperma dan ovum sampai masa kehamilan.
c.       Fase neo-natus, yaitu dimulai dari kelahiran sampai kira-kira minggu keempat.
d.      Fase kanak-kanak (al-thifl) adalah fase yang dimulai dari usia sebulan sampai usia sekitar tujuh tahun.
e.       Fase tamyiz, yaitu fase ketika anak mulai mampu membedakan mana yang  baik dan mana yang buruk.
f.       Fase baligh, yaitu fase ketika manusia telah sampai dewasa. Fase ini merupakan fase yang terpenting dalam rentang hidup manusia., karena merupakan awal aktualisasi dirinya dalam memennuhi perjanjian yang pernah diucapkan di alam pra kehidupan.
g.      Fase azm al-‘umr atau syuyukh, yaitu fase kearifan dan kebijaksanaan. Diman seseorang memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual, dan agama secara mendalam.
h.      Fase menjelang kemaatian, yaitu nyawa akan hilang dari jasad manusia.

4.      Konflik
       Konflik (KBBI, 2002: 587) adalah ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan), pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. Selanjutnya juga diuraikan tentang konflik batin yaitu konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku; konflik kebudayaan yaitu persaingan antara dua masyarakat social yang mempunyai kebudayaan hamper sama; konflik sosial yaitu pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.
       Konflik adalah unsur yang tergolong penting untuk melengkapi perkembangan alur cerita dalam sebuah novel. Menurut Wellek dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2007: 122), konflik adalah sesuatu yang dramatik mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang yang menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan demikian, dalam pandangan kehidupan yang normal watak faktual artinya bukan dalam cerita menyaran pada konotasi yang negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan itulah sebabnya orang lain lebih baik memilih menghindari konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang. Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 124) membagi konflik menjadi dua kategori, yaitu:
a.       Konflik eksternal (eksternal conflict) adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang ada di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam dan mungkin juga dengan manusia itu sendiri. Konflik eksternal ini diobedakan menjadi dua macam yaitu:
1)      Konflik fisik (physical conflict) konflik fisik atau konflik elemental adalah konflik yang disebabkan oleh adanya benturan antara tokoh dengan lingkungan alam.
2)      Konflik social (social conflict) merupakan konflik yang terjadi kareena adanya interaksi antar manusia. Berbagai masalah manusia dalam hubungannya dengan manusia itu sendiri.
b.      Konflik internal (internal conflict) sering juga konfliki kejiwaan. Konflik ini merupakan konflik yang terjadi pertentangan hati atau jiwa seorang tokoh dengan tokoh lain. Konflik ini juga bias terjadi dalam diri seorang tokoh itu sendiri. Konflik jiwa terjadi akibat adanya pertentangan atau gangguan batin seorang tokoh antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin yang terus menerus terjadi menyebabkan pribadi, watak, dan pemikiran yang menyimpang. Biasanya konflik jiwa lahir dari hubungan antar manusia atau tokoh.

5.      Penyelesaian konflik  
       Menurut Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2007: 146) tahap penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan yaitu kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end). Dalam perkembangan berikutnya penyelesaian cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sesuai dengan logika cerita itu pula para tokoh telah menerima nasib sebagaiman peran yang disandangnya. Di sini pembaca tidak mempunai kesempatan ikut menentukan kemungkinan penyelesaian secara lain. Sedangkan penyelesaian terbuka yaitu akhir cerita yang memberi kesempatan kepada pembaca untuk memikirkan, mengimajinasikan, dan mengekspresikan bagaimana kira-kira penyelesaiannya. Pembaca bebas untuk mengekspresikan penyelesaian cerita itu sesuai dengan harapan, tetapi tidak bertentangan dengan tuntutan dan logika cerita yang telah dikembangkan sebelumnya.

Teori Pragmatik


Pragmatik merupakan suatu cabang dari linguistik yang menjadi objek bahasa dalam penggunaannya, seperti komunikasi lisan maupun tertulis. Menurut Leech (Wijana,1996: 3) pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi dengan tata bahasa yang terdiri dari fonologi,  morfologi, sintaksis. Di dalam bahasa pragmatik terkadang juga memperhatikan suara, morfem, struktur kalimat dan makna suatu kalimat.
Wijana (1996: 2) menjelaskan bahwa makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat oleh konteks. Hal ini berbeda dengan semantik yang menelaah makna yang bebas konteks yaitu makna linguistik, sedangkan pragmatik adalah maksud tuturan. Semantik tidak dapat dipisahkan dari kajian pemakaian bahasa. Jika, makna juga diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bahasa, maka sulit diingkari pentingnya konteks pemakaian bahasa karena makna itu selalu berubah-ubah berdasarkan konteks pemakaiannya. Konteks tuturan dalam bentuk bahasa yang berbeda dapat mempunyai arti yang sama, sedangkan tuturan yang sama dapat mempunyai arti atau maksud yang lain.
                                   
Yule (2006: 3) menjelaskan pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur  (penulis) dan di tafsirkan oleh pendengar (pembaca) pendengar berusaha menafsirkan tuturan penutur sehingga akan diperoleh makna, maksud, tujuan dari penutur. Setelah pendengar mengetahui maksud penutur maka akan diketahui jenis tindakan yang harus dilakukan oleh pendengar. Untuk itu yang menjadi pusat perhatian pragmatik adalah maksud penutur yang terdapat dibalik tuturan yang diutarakan.
Definisi pragmatik menurut Cruse buku terjemahan (Commings, 2007: 2) adalah pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui bahasa  yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secra alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan). Melalui cara mengkodekan suatu tuturan, maka dapat diketahui makna yang sesuai dengan konteks tuturan sehingga akan diperoleh suatu informasi.

Definisi pragmatik menurut Tarigan (1986: 34) tidak jauh berbeda dengan definisi lainnya yang menjelaskan bahwa pragmatik adalah menelaah makna kaitannya dengan situasi ujaran. Di dalam menelaah sebuah tuturan pendengar akan lebih mudah memahami maksud tuturan tersebut diucapkan. Berdasarkan beberapa pengertian pragmatik di atas maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah lawan tutur sehingga menimbulkan suatu informasi yang jelas sesuai dengan suatu informasi yang jelas sesuia dengan situasi ujaran.   




A.    Prinsip Kerjasama
Penutur dan lawan tutur dalam berkomunikasi dibutuhkan secara prinsip kerjasama tersebut akan menghasilkan percakapan yang jelas dan dimengerti oleh keduanya. Menurut Grice (Wijana, 1996: 46) mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim). Yaitu
1.      Maksim Kuantitas
Maksim Kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak-banyaknya yang dibutuhakan oleh lawan bicaranya. Informasi yang disampaikan dalam pertanyaan. Informasi yang disampaikan dalam pertuturan harus jelas sehingga tidak terjadi penyimpangan maksud.
(15) saudara saya hamil
(16) saudara saya yang perempuan hamil
Tuturan (15) di atas lebih ringkas, juga tidak  menyimpangkan nilai kebenaran. Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah, yang mungkin hamil. Elemen yang perempuan dalm tuturan (16) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (16) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas.




2.      Maksim Kualitas
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Tuturan dari peserta harus memiliki fakta atau bukti-bukti yang memadai seperti tuturan (17) berikut.
Guru: coba kamu Eza, apa ibu kota Jawa Tenangah?
Andi: Yogyakarta, Pak Guru.  
Guru: bagus, kalau begitu ibu kota Jawa Barat Semarang, ya? 
Di dalam wacana (17) di atas guru tampak memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibu kota Jawa Barat adalah Semarang bukannya Bandung jawaban yang tidak mengindahkan maksim kaulitas ini diutarkan sebagai reaksi jawaban Andi yang salah dengan jawaban sang murid (Andi) sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah mengapa kalimat bapak guru diutarakan dengan nada yang berbeda. Bukti-bukti yang memadai membuat Andi mengetahui bahwa jawabannya terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang di ucapkan gurunya tidak konvensional karena tidak untuk mengejek. Jadi, ada alasan-alasan pragmatis mengapa guru dalam (17) memberikan kontribusi yang mekanggar maksim kuantitas.

3.      Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim ini kadang menimbulkan implikatur karena terdapat tuturan yang diimplikasikan seperti tuturan (18)
(18) + Pak ada tabrakan motor laean truk di pertigaan depan.
        -  Yang menang apa hadiahnya?

Tuturan (18) adalah percakapan antara seseorang ayah dengan anaknya bila ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak selayaknya ia mempersamakan pristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya itu dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan di dalam sebuah kecelakaan tidak ada pemenang, dan tidak ada pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian, bahkan ada kemungkinan salah satu, atau kedua belah pihak meninggal dunia. Agaknya di luar maksud untuk melucu kontribusi (-) dalam (18) sulit di carikan hubungan implikasinya.

4.      Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan atau cara mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Tuturan yang langsung dilakukan agar peserta tutur melaksanakan perintah tuturan seperti tuturan (19).
(19) Ani : Kita berhenti dan kita makan.
       Budi: Oke, tetapi jangan di M-C-D-O-N-A-L-D-S.
Tuturan (19) Budi menjawab ajakan Ani secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata Mc.Donalds. penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Cara ini sering dilakukan oleh orang tua kalau anaknya meminta barang-barang mainan yang mahal jika berbelanja di toko atau pasar swalayan.     

B.     Tindak Tutur
Berhubung  wacana yang dikaji berdasarkan ilmu pragmatic, maka tentang teori komponen tutur, Hymes (1974) mengemukakan sekurang-kurangnya ada delapan factor yang menentukan wujud ujaran seseorang, yakni speaking. Setting atau scene berkaitan dengan tempat dan waktu diutarakanya ujaran itu, participant berkaitan dengan peserta tindak tutur yaitu penutur dan mitra tutur, Ends berkaitan dengan tujan atau maksud  yang dicapai, Ack Sequnce berkaitan dengan bentuk dan isi yang hendak disampaikan, Key berkaitan dengan nada suara, gerak gerik saat berujar, Instrumentalities berkaitan dengan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan semisal surat kabar,televise, telegram, dan sebagainya. Norm Of Interaction berkaitan dengan aturan kebahasaan yang digunakan para anggotanya, Genre berkaitan dengan tipe wacana yang digunakan, sperti wacana dalam surat dinas lebih resmi dibandingkan wacana dalam percakapan telepon.
Selain itu dalam upaya pengungkapan (penafsiran) maksud penutur hanya dapt dilakukan dengan mencermati pemakaian tuturan itu. Leech (1983: 15) mengemukakan aspek-aspek situasi tutur berikut ini merupakan kriteria dalam studi pragmatik.
1.      Penutur dan lawan tutur
Yang dimaksud penutur dan lawan tutur di sini adalah bukan hanya pembicara dan pendengar tetapi meliputi penulis dan pembaca.
2.      Konteks tuturan
Konteks tuturan menurut kerangka pragmatic adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur.
3.      Maksud tuturan
Tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi  oleh maksud. Dalam hubungan bentuk-bentuk tuturan bermacam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya. Di dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Jadiada perbedaan pandangan pragmatic yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat konvensional.