Minggu, 26 Juni 2011

ANALISIS STRUKTURAL GENETIK PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” KARYA AHMAD TOHARI


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
        Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003: 59).  Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
        Pernyataan di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
        Strukrural genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian sterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya.

B.     Tujuan
        Tujuan dari penulisan makalah ini bertujuan menemukan koherensi struktur intrinsik Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan menemukan koherensi struktur trilogi itu dengan struktur sosial masyarakat yang menjadi acuannya.
C.    Rumasan Masalah
§  Apa unsur intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
§  Bagaimanakah latar belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari?
§  Bagaimana latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang?
D.    Pembatasan masalah
                              
§  Unsur intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
§   Latar belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari



                                    KAJIAN TEORI

        Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Untuk itu, maka sebelum berbicara tentang strukturalisme genetik terlebih dahulu akan dibicarakan mengenai strukturalisme murni dengan berbagai kelemahannya.
        Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikansinya (Iswanto, 2003: 59-60).
        Karena pandangan keotonomian karya di atas, di samping juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikannya sendiri, analisis terhadap sebuah karya pun tak perlu dikaitkan dengan karya-karya lain.
        Penelitian strukturalisme genetik memandang, karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi jaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya politik, ekonomi. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (suwardi, 2003: 56).


PEMBAHASAN

Sinopsis
Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun,warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main bersama Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat.
Sebagai seorang ronggeng yang sah, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata meninggalkan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan,dan tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk.
Penolakan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan.
Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik. Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Untunglah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.

A.    Unsur Intrinsik
·         Tokoh dan Penokohan
1.      Tokoh utama
Srintil adalah perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus, Seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.

2.      Tokoh bawahan
Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya, (kakek Srintil) sifat kolot, keras, penyayang
 Nyai Sakarya, (nenek Srintil) yang mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum. tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki Kertareja, sifat kolot, keras, penyayang, licik.
Nyai Kartareja. Materialistis, pandai membujuk dan licik.
Tampi: penyayang, sabar.
Goder. Anak angkat Srintil.
Sersan Pujo. Baik dan tegas
Masusi. Jahat, hidung belang, pendendam.
Diding. Kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan demi uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya.
Tamir. Laki-laki hidung belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran   tanah untuk pembuatan jalan di Dukuh Paruk Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah hati oleh Srintil.
Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek tendernya lolos.
Darman. Aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Pak Blengur. Bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa). Bijaksana dan peduli akan penduduknya.
Kepala Bangsal Rumah Sakit Jiwa. Orang yang menerima Srintil saat masuk ke rumah sakit jiwa.
Babah Gemuk. Orang yang membagikan uang ganti rugi kepada masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.


·         Tema
Kehidupan ronggeng dukuh paruk yang terkoyak.
·         Latar
  1. Latar waktu: Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru(1965).
  2. Latar tempat: Tempat terjadinya cerita di daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.
·         Alur   
  1. Alur berdasarkan kronologis, alur campuran.
  2. Alur berdasarkan kuantitas, alur jamak.
  3. Alur berdasarkan akhir cerita, alur terbuka.
.
·         Sudut Pandang
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga, dia serba tahu karena pengarang berada di luar cerita.
·         Amanat
  1. Sebagai seorang wanita harus dapat menjaga keperawanannya sebelum menikah.
  2. Manusia hendaknya percaya akan adanya Tuhan dan jangan percaya pada tahayul.
  3. Selalu tabah dalam menjalani hidup.

B.     Latar belakang sosial pengarang
Ahmad Tohari lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang,Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN2 Purwokerto (1966). Tohari pernah kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak berhasil diselesaikannya karena kendala nonakademik.
Ia pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967)tetapi keluar. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harianMerdeka (Jakarta 1979-1981), staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang
tuanya di desa kelahirannya untuk mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat.Di desa itu pula Tohari membangun mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anakanaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.Tohari termasuk pengarang yang produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memperoleh HadiahSayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah dihasilkannya. Setelah itu,lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980). Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya yang merupakan trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995) Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta (2003) yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun (Ahmad Tohari, 2003). Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan South East Asia Writes Award, Bangkok (1995).

  1. Sosial budaya
Manifestasi dunia rekaan pengarang diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki kebudayaan tertentu pula. Ronggeng Dukuh Paruk, dengan demikian juga merupakan cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga sebagai pedoman sikap dan perilaku seharihari. Didukung oleh sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep kepengarangan yang dapat dikatakan ‘khas’. Dikatakan demikian, karena Tohari memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan yang baik ataupun yang buruk yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah ayat Tuhan.
Dengan demikian, apa pun paham atau ajaran Islam atau kejawen tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya (kultural). Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dakwah kulturalnya. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk. Jika dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh Rasus.

Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dibandingkan sebagai berikut:
Ahmad Tohari:          
1)      Ahmad Tohari  orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
2)      Ahmad Tohari orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
3)      Ahmad Tohari  memiliki kebanggaan kultural sebagai orang desa yang berpandangan
moderen dan berstatus sosial terpandang.
4)      Ahmad Tohari tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan
karena melanggar harkat kemanusiaan.
5)      Keluarga Ahmad Tohari pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang
menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya meninggal.
6)      Perlakuan Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang
tidak manusiawi oleh Ahmad Tohari.
7)      Ahmad Tohari selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam
bid’ah budaya.
8)      Bagi Ahmad Tohari ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.

Tokoh Rasus:
1)      Rasus  orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
2)      Rasus juga anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
3)      Rasus bangga menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya
di mata masyarakat.
4)      Rasus sangat membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena
pembantaian kemanusiaan.
5)      Keluarga Rasus juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga
menyebabkan kematian orang tuanya.
6)      Mantri membawa pergi ibu Rasus ke kota hingga membawa penderitaan batin
berkepanjangan pada diri Rasus.
7)      Rasus juga berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
8)      Rasus mencari figur ibunya pada diri Srintil.

Perbandingan tersebut makin memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental dan intelektual pada tokoh Rasus. Sulit diterima oleh akal sehat jika ada seorang anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya. Bagaimana bisa Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri?  Agaknya peluang inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Ahmad Tohari untuk memasukkan gagasannya.
 Pengalamannya kuliah di Fakultas Kedokteran, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti hakikat keteraturan keselarasan, dan kesaling bergantungan antar-unsur dalam alam makna kepercayaan dan pengingkaran terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah, indang, susuk, dan sebagainya hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan kebebasan seks, renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap dan perilaku orang-orang primitiv, hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan, keamanan, dan kerukunan, kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan amukan sang nasib, dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala hal-ihwalnya.
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk Tohari melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng. Sekaligus Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Namun demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur  Jawa. Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas adatistiadat Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.

Reaksi Ahmad Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus adalah:
1)      Keraguan Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
2)    Ketidakpedulian Rasus terhadap  Ki Secamenggala.
3)      Harapan Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan untuk tidak menjadi ronggeng.
4)      Kebencian Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon ronggeng Srintil.
5)      Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
6)      Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
7)      Kebencian Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari tangannya.
8)      Kepergian Rasus dari pedukuhannya

 Dengan deskripsi lakuan dan simbolisasinya, Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan spiritualnya dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini terhindar dari kesan sloganistis karena sama sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk sesuatu hal. Bid’ah budaya Tohari justru sangat menonjol dari pada unsur “dakwah”nya, meskipun hal ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir hanya tiga kali Tohari menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2003 hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), kata “bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata “alhamdulilah”(hal 401), satu kata “dosa” (hlm. 85), dan kata “dosa besar” (hlm. 86), la Ilaha illallah(256).



PENUTUP
Struktural genetik adalah cabang penelitian sastra secara structural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian structural dengan penelitian aspek-aspek internal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.

















Daftar pustaka
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: pustaka widyatama.
Jabrohim, dkk. 2003. Metodologi Penenlitian Sastra. Yogyakarta: PT. hanindita graha widya.
Nurgiayantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GADJAH MADA          UNIVERSITY PRESS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: pustaka     pelajar.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT gramedia Pustaka utama.
www.figurpublik.com. 2006. “Ronggeng Dukuh Paruk Karya Sastra Indonesia Lima Terbaik”.
                           



2 komentar: